Pertamahumum membangun bangunan diatas kuburan itu makruh dan yang kedua hukumnya adalah haram. Wallahu wa Rasulu A'lam. Untuk menambah wawasan keislaman Anda, kam rekomendasikan untuk juga membaca hukum mengirimkan Al-quran melalui ekspedisi atau membaca tulisan berjudul hukum menjualbelikan bayi ini.
LARANGAN MENDIRIKAN MASJID DI ATAS KUBURANOleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه اللهAhlus Sunnah berkeyakinan bahwa tidak boleh membangun masjid di atas kuburan. Membangun masjid di atas kuburan merupakan kesesatan dalam agama. Di samping itu, perbuatan ini merupakan jalan menuju syirik serta menyerupai perbuatan Ahlul Kitab. Perbuatan tersebut juga akan mendatangkan kemurkaan dan laknat Allâh Azza wa Jalla .Masalah ini termasuk masalah paling besar yang telah menimpa ummat Islam. Dewasa ini telah banyak ditemukan masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan dan dibangun juga kubah-kubah di atasnya. Bahkan, tidak sedikit kuburan yang ditinggikan dan dibangun dengan hiasan yang ketinggiannya melebihi tinggi tubuh manusia serta dihias dengan hiasan-hiasan yang mewah, padahal itu perbuatan haram. Sementara, orang-orang datang mengunjunginya untuk mencari dan minta berkah, berdo’a memohon kepada penghuninya, menyembelih binatang dan memohon syafa’at serta kesembuhan dari mereka perbuatan itu semua termasuk ke dalam syirik akbar. Itulah fakta yang kita dapati diberbagai negeri Islam di zaman ini. Kiranya tidak perlu kami buktikan kenyataan ini. Lâ Haula wa lâ quwwata illâ billâh Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari Allâh.[1]Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Ummu Habîbah Radhiyallahu anha dan Ummu Salamah Radhiyallahu anha menceritakan kepada Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam tentang gereja dengan patung-patung yang ada di dalamnya yang mereka lihat di negeri Habasyah Ethiopia, maka Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaأُولَئِكِ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُوْلَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ itu adalah suatu kaum, apabila ada seorang hamba yang shalih atau seorang yang shalih meninggal di antara mereka, mereka bangun di atas kuburannya sebuah masjid tempat ibadah dan mereka buat di dalam tempat itu rupaka-rupaka patung-patung.Mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allâh pada hari kiamat.[2]Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabdaلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَLaknat Allâh atas Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.[3]Dari Jundub bin Abdillah Radhiyallahu anhu berkata, “Aku mendengar bahwa lima hari sebelum Nabi Shallallahu alaihi wa sallam wafat, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabdaإِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللهِ أَنْ يَكُوْنَ لِي مِنْكُمْ خَلِيْلٌ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً، كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَSungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allâh dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalîl kekasih mulia di antara kamu, karena sesungguhnya Allâh telah menjadikan aku sebagai khalîl. Sekiranya aku boleh menjadikan seorang khalîl dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalîl. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid tempat ibadah.Ingatlah, janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai masjid tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.[4]Yang dimaksud dengan اِتِّخَاذُ الْقُبُوْرِ مَسَاجِدَ yaitu menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid tempat ibadah, mencakup tiga hal, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah [5]Tidak boleh shalat menghadap kubur, karena ada larangan tegas dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَاJangan kamu shalat menghadap kubur dan jangan duduk di atasnya.[6]Tidak boleh sujud di atas boleh membangun masjid di atasnya tidak boleh shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan.Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga menyebutkan dalam kitabnya, bahwa membangun masjid di atas kubur hukumnya haram dan termasuk dosa besar menurut empat madzhab.[7]Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bâz rahimahullah menjelaskan dalam fatwanyaHadits-hadits larangan tersebut menunjukkan tentang haramnya membangun masjid di atas kubur dan tidak boleh menguburkan mayat di dalam masjid.[8]Tidak boleh shalat di masjid yang di sekelilingnya terdapat kuburan.[9]Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan di dalam kitabnyaSiapa yang mengubur seseorang di dalam masjid, maka ia harus memindahkannya dan mengeluarkannya dari yang mendirikan masjid di atas kuburan, maka ia harus membongkarnya merobohkannya.[10]Dinyatakan pula oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali dalam kitabnya[11], bahwa menjadikan kubur sebagai tempat ibadah termasuk dosa besar, dengan sebabOrang yang melakukannya mendapat laknat Allâh Azza wa Jalla .Orang yang melakukannya disifatkan dengan sejelek-jelek orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan menyerupai mereka hukumnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah t menyebutkan dalam kitabnya, Zâdul Ma’âd[12], “Berdasarkan hal itu, masjid harus dibongkar bila dibangun di atas kubur. Sebagaimana halnya kubur yang berada dalam masjid harus dibongkar. Pendapat ini telah disebutkan oleh Imam Ahmad dan lainnya. Tidak boleh bersatu antara masjid dan kuburan. Jika salah satu ada, maka yang lain harus tiada. Mana yang terakhir ada itulah yang dibongkar. Jika didirikan bersamaan, maka tidak boleh dilanjutkan pembangunannya, dan wakaf masjid tersebut dianggap batal. Jika masjid tetap berdiri, maka tidak boleh shalat di dalamnya yaitu di dalam masjid yang ada kuburannya berdasarkan larangan dari Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam dan laknat Beliau Shallallahu alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang menjadikan kubur sebagai masjid atau menyalakan lentera di atasnya. Itulah dienul Islam yang Allâh turunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad n , meskipun dianggap asing oleh manusia sebagaimana yang engkau saksikan.”[13]Bagaimana dengan makam Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam yang berada dalam Masjidin Nabawi? Jawaban terhadap syubhat yang ada, “Ada orang berkata, sekarang ini kita dalam dilema sehubungan dengan makam Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam karena kuburan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam berada tepat di tengah masjid. Bagaimana menjawabnya?”Jawabannya adalah sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam ketika meninggal dunia dimakamkan di kamar Aisyah Radhiyallahu anhuma di rumahnya sebelah masjid, dipisahkan dengan tembok dan ada pintu yang Beliau Shallallahu alaihi wa sallam biasa lewati untuk keluar menuju masjid. Hal ini adalah perkara yang sudah disepakati para Ulama dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya para Shahabat g menguburkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di kamarnya. Mereka lakukan demikian supaya tidak ada seorang pun sesudah mereka menjadikan kuburan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam sebagai masjid atau tempat ibadah, sebagaimana hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma dan yang lainnya.Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sakit yang karenanya Beliau Shallallahu alaihi wa sallam meninggal, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaلَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَAllâh melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat peribadahan.Aisyah Radhiyallahu anhuma melanjutkanوَلَوْلاَ ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خُشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًاSeandainya bukan karena larangan itu tentu kuburan Beliau sudah ditampakkan di atas permukaan tanah berdampingan dengan kuburan para Shahabat di Baqi’. Hanya saja Beliau khawatir akan dijadikan sebagai tempat ibadah.[14]Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaاَللّٰهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا، لَعَنَ اللهُ قَوْمًا اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَYa Allâh! Janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Allâh melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat untuk ibadah.[15]Kemudian –Qaddarallahu wa Maasyaa’a Fa’ala— terjadi sesudah mereka apa yang tidak diperkirakan sebelumnya, yaitu pada zaman al-Walid bin Abdul Malik tahun 88 H. Ia memerintahkan untuk membongkar masjid Nabawi dan kamar-kamar istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam termasuk juga kamar Aisyah Radhiyallahu anhuma sehingga dengan demikian masuklah kuburan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ke dalam Masjid Nabawi.[16]Pada saat itu tidak ada seorang Shahabat pun di Madinah an-Nabawiyyah. Sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan muridnya al-Allamah al-Hâfizh Muhammad Ibnu Abdil Hadi rahimahullah, “Sesungguhnya dimasukkannya kamar Beliau Shallallahu alaihi wa sallam ke dalam masjid pada masa khilafah al-Walid bin Abdil Malik, sesudah wafatnya seluruh Shahabat Radhiyallahu anhum yang ada di Madinah. Dan yang terakhir wafat adalah Jâbir bin Abdillah[17], yang wafat pada zaman Abdul Malik pada tahun 78 H. Sedangkan al-Walid menjabat khalifah tahun 86 H dan wafat pada tahun 96 H. Maka dari itu, dibangunnya renovasi masjid dan masuknya kamar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terjadi antara tahun 86-96 H.[18]Perbuatan al-Walid bin Abdil Malik ini salah -semoga Allâh mengampuninya-.[19]Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam Fat-hul Bâri dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al-Jawâbul Bâhir, “Bahwa kamar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tatkala dimasukkan ke dalam masjid, ditutup pintunya, dibangun atasnya tembok lain untuk menjaga agar rumah Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak dijadikan tempat perayaan dan kuburnya tidak dijadikan berhala.”[20]Larangan shalat di masjid yang ada kuburnya atau masjid yang dibangun di atas kubur mencakup semua masjid di seluruh dunia kecuali Masjid Nabawi. Hal tersebut karena Masjid Nabawi mempunyai keutamaan yang khusus yang tidak didapati di seluruh masjid di muka bumi kecuali Masjidil Haram dan Masjidil sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هٰذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَShalat di Masjidku ini lebih utama 1000 seribu kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram.[21]صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هٰذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ di Masjidku ini lebih utama 1000 seribu kali daripada shalat di masjid-masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram.[22]صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هٰذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ، فَصَلاَةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُShalat di Masjidku ini lebih utama 1000 seribu kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram, maka shalat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu kali daripada shalat di masjid yang lainnya.[23]مَا بَيْنَ بَيْتِيْ وَمِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِيْ عَلَى rumahku dan mimbarku ada taman dari taman-taman Surga dan mimbarku di atas telagaku.[24]Dan keutamaan-keutamaan yang lain yang tidak didapati di masjid lainnya. Kalau dikatakan tidak boleh shalat di masjid Beliau berarti menyamakan dengan masjid-masjid lainnya dan menghilangkan keutamaan-keutamaan ini dan hal ini jelas tidak boleh.[25]Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah berkata tentang syubhat tersebut[26]Masjid Nabawi itu tidak didirikan di atas kuburan, tetapi masjid didirikan pada zaman Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam .Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak dikuburkan di dalam masjid, namun dikubur di dalam rumah Beliau Shallallahu alaihi wa sallam .Menggabungkan rumah Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam , termasuk pula rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan masjid, bukan atas kesepakatan para Shahabat. Hal ini terjadi setelah sebagian besar Shahabat sudah meninggal dunia dan yang masih hidup saat itu tinggal sedikit, kira-kira pada tahun 94 H. Hal ini termasuk masalah yang tidak disepakati semua Shahabat yang masih ada. Yang pasti bahwa sebagian di antara mereka menentang rencana itu, termasuk pula Sa’id bin al-Musayyab,[27] dari kalangan Tabi’ tidak ridha atas hal itu.[28]Kuburan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak berada di dalam masjid Nabawi, meskipun setelah itu masuk di dalamnya, karena kuburan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam ada dalam ruangan tersendiri yang terpisah dengan masjid, sehingga masjid tidak didirikan di atas kuburan. Karena itu tempat tersebut dijaga dan dilapisi tiga dinding. Dinding-dinding itu berbentuk segi tiga yang posisinya miring dengan arah Kiblat, sedangkan rukun tiang di sisi utara, sehingga orang yang shalat tidak mengarah ke sana, karena bentuknya agak a’lam.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Lihat Manhajul Imâm asy-Syâfi’i fii Itsbâtil Aqîdah I/259-264 karya DR. Muhammad bin Abdul Wahhab al-Aqil. [2] HR. Al-Bukhâri no. 427, 434, 1341 dan Muslim no. 528 bab an-Nahyu an Binâ-il Masâjid alal Qubûri wa Ittikhâdzish Shuwari fîha wan Nahyu an Ittikhâdzil Qubûri Masâjid Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Memasang di Dalamnya Gambar-Gambar Serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid dan Abu Awanah I/401. [3] HR. Al-Bukhari no. 435, 436, 3453, 3454, 4443, 4444, 5815, 5816 dan Muslim no. 531 22 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma. [4] HR. Muslim no. 532 23 bab bab an-Nahyu an Binâ-il Masâjid alal Qubûri wa Ittikhâdzish Shuwari fîha wan Nahyu an Ittikhâdzil Qubûri Masâjid Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Membuat Patung-Patung serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid. [5] Lihat Tahdzîrus Sâjid min Ittikhâdzil Qubûr Masâjid hlm. 29-44 oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. I/ Maktabah al-Ma’arif/ th. 1422 H. [6] HR. Muslim no. 972 98 dan lainnya dari Sahabat Abu Martsad al-Ghanawi Radhiyallahu anhu. [7] Tahdzîrus Sâjid hlm. 45-62. [8] Fatâwâ Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bâz IV/337-338 dan VII/426-427, dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’ad asy-Syuwai’ir, cet. I, th. 1420 H. [9] Lihat Fatâwâ Muhimmah Tata’allaqu bish Shalâh hlm. 17-18, no. 12 oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, cet. I, Daarul Fa-izin lin Nasyr – th. 1413 H. [10] Lihat al-Qaulul Mufîd ala Kitâbit Tauhîd I/402 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin. [11] Lihat Mausû’atul Manâhi asy-Syar’iyah I/426. [12] Zâdul Ma’âd fii Hadyi Khairil Ibâd III/572 tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir al-Arnauth, cet. Mu-assasah ar-Risalah, H. [13] Tentang harus dibongkarnya masjid yang dibangun di atas kubur itu tidak ada khilaf di antara para Ulama yang terkenal, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Iqthidhâ’us Shirâthil Mustaqîm II/187 tahqiq dan ta’liq DR. Nashir bin Abdul Hakim al-Aql, cet. VI Darul Ashimah. [14] HR. Al-Bukhâri no. 1330, Muslim no. 529 19, Abu Awânah I/399 dan Ahmad VI/80, 121, 255. Perkataan Aisyah Radhiyallahu anhuma ini menunjukkan dengan jelas tentang sebab mengapa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dikuburkan di rumahnya. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menutup jalan supaya tidak dibangun di atasnya masjid sebagai tempat ibadah. Maka, tidak boleh dijadikan alasan tentang bolehnya mengubur di rumah, karena hal ini menyalahi hukum asal. Menurut Sunnah menguburkan mayat di pekuburan kaum Muslimin. Lihat Tahdzîrus Sâjid hlm. 14 [15] HR. Ahmad II/246, al-Humaidi dalam Musnadnya no. 1025 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Sanadnya shahih. Diriwayatkan juga oleh Imam Mâlik I/156 no. 85, dari Atha’ bin Yasar secara marfu’. Hadits ini mursal shahih. Lihat Tahdzîrus Sâjid hlm. 25-26 [16] Lihat Târîkhuth Thabari V/222-223 dan Târîkh Ibni Katsir IX/74-75.Dinukil dari Tahdzîrus Sâjid hlm. 79. [17] Beliau adalah seorang Shahabat yang mulia, Jâbir bin Abdillah bin Amr bin Haram bin Ka’ab al-Anshari as-Silmi Radhiyallahu anhuma . Seorang yang banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , ikut dalam bai’at Aqabah dan ikut bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak peperangan. Setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meninggal, beliau Radhiyallahu anhu membuat halaqah kajian di Masjid Nabawi untuk ditimba al-Ishâbah I/213 no. 1026. [18] Lihat al-Jawâbul Bâhir fii Zuwwâril Maqâbir hlm. 175tahqiq DR. Ibrahim bin Khalid bin Isa al-Mukhlif, Majmû’ Fatâwâ XXVII/419 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, juga Tahdzîrus Sâjid hlm. 79-80 oleh Syaikh al-Albani. [19] Tahdzîrus Sâjid hlm. 86 oleh Syaikh al-Albani. [20] Al-Jawâbul Bâhir fii Zuwwâril Maqâbir hlm. 184. [21] HR. Muslim no. 1395 dari Sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma. [22] HR. Al-Bukhâri no. 1190, Muslim no. 1394, at-Tirmidzi no. 325, Ibnu Majah no. 1404, ad-Darimi I/330, al-Baihaqi V/246, Ahmad II/256, 386, 468, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Irwâ-ul Ghalîl no. 971. [23] Ahmad III/343, 397, Ibnu Majah no. 1406 dari Shahabat Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu. [24] HR. Al-Bukhâri no. 1196, 1888, Muslim no. 1391, Ibnu Hibban no. 3750/at-Ta’lîqâtul Hisân alâ Shahîh Ibni Hibbân no. 3742, al-Baihaqi V/246, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. [25] Lihat Tahdzîrus Sâjid hlm. 178-182. [26] Lihat al-Qaulul Mufîd alâ Kitâbit Tauhîd I/398-399. [27] Nama lengkapnya Sa’id bin al-Musayyab bin Hazan bin Abi Wahhab al-Makhzumi al-Qurasyi. Dia adalah seorang ahli Fiqih di Madinah. Dia menguasai ilmu hadits, fiqih, zuhud, wara’. Dia orang yang paling hafal hukum-hukum Umar bin Khaththab dan keputusan-keputusannya, wafat di Madinah th. 94 H. Lihat Taqrîbut Tahdzîb I/364 no. 2403 dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ IV/217-246, no. 88. [28] Majmû’ Fatâwâ XXVII/420 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Home /B1. Topik Bahasan3 Ibadah.../Larangan Mendirikan Masjid Di...
Penulis-hafidzahulloh ta'ala- berkata: حكم بناء القباب والمشاهد على القبور "Hukum membangun kubah-kubah dan nisan di atas kubur". Beliau
Teks Jawaban Sejarah Kubah Hijau Kubah yang ada di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, dahulu tidak ada hingga abad ketujuh. Yang pertama kali membangunnya adalah Sultan Qalawun. Dahulu berwarna kayu, kemudian berwarna putih, biru dan hijau. Dan warna hijau yang berlanjut hingga sekarang. Ustadz Ali Hafid hafizahullah berkata “Belum pernah ada kubah di atas kamar yang suci kuburan Nabi. Dahulu di atap masjid yang sejajar dengan kamar ada kayu memanjang setengah ukuran orang untuk membedakan antara kamar dengan sisa atap masjid lainnya. Sulton Qalawun As-Shalihi yang pertama kali membuat kubah di atas kuburan tersebut. Dikerjakan pada tahun 678 H, berbentuk empat persegi panjang dari sisi bawah, sedangkan atasnya berbentuk delapan persegi dilapisi dengan kayu. Didirikan di atas tiang-tiang yang mengelilingi kamar, dikuatkan dengan papan dari kayu, lalu dikuatkan lagi dengan tembaga, dan ditaruh di atas kayu dengan kayu lain. Kubah tersebut diperbarui pada zaman An-Nasir Hasan bin Muhammad Qalawun, kemudian papan yang ada tembaganya retak. Lalu diperbarui dan dikuatkan lagi pada masa Al-Asyraf Sya’ban bin Husain bin Muhammad tahun, 765 H. Akan tetapi ada kerusakan, dan diperbaiki pada zaman Sultan Qaytabai tahun 881 H. Rumah dan kubah terbakar pada waktu kebakaran Masjid Nabawi tahun 886 H. Pada zaman Sultan Qaytabai tahun 887 H, kubahnya diperbarui. Dan dibuat pondasi yang kuat di tanah Masjid Nabawi, dibangun dengan kayu dengan puncak ketinggian. Setelah kubah selesai seperti yang telah dijelaskan, ternyata bagian atasnya koyak kembali. Ketika merasa tidak mungkin lagi dipugar, Sultan Fayyabi memerintahkan untuk menghancurkan bagian atasnya. Lalu diulangi lagi pembangunannya lebih kuat dengan semen putih. Dan selesai dengan kokoh dan kuat pada tahun 892 H. Pada tahun 1253 H Sultan Abdul Hamid Al-Utsmani mengeluarkan perintah untuk mengecat kubah dengan warna hijau. Beliaulah yang pertama kali mengecat kubah dengan warna hijau. Kemudian cat tersebut terus menerus diperbarui setiap kali dibutuhkan, sampai hari ini. Dinamakan kubah hijau setelah dicat hijau. Dahulu dikenal dengan Kubah Putih, Fayha dan Kubah Biru.” Fushul Min Tarikh Al-Madinah Al-Munawwarah, Ali Hafiz, hal. 127-128 Kedua Hukumnya Para ulama peneliti -dahulu dan sekarang- telah mengingkari bangunan kubah dan pengecatannya. Semua itu karena mereka mengetahui bahwa pengingkaran tersebut dapat mencegah peluang yang banyak yang mengkhawatirkan lahirnya tindakan kesyirikan. Di antara ulama-ulama tersebut adalah; 1. Imam Ash-Shan’any rahimahullah dalam kitab Tathirul I’tiqadat’, berkata, 'Kalau anda katakan, bahwa pada kuburan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam telah dibangun kubah yang agung dengan biaya yang sangat besar, maka saya katakan, ini merupakan kebodohan besar tentang hakikat sebuah keadaan. Sesungguhnya kubah tersebut tidak dibangun oleh beliau Nabi sallallahu alaihi wa sallam, para shahabat, para tabiin, para tabiit tabi’in, tidak juga para ulama umat dan pemimpin agamanya. Akan tetapi kubah yang dibangun di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tersebut adalah bangunan yang didirikan salah seorang raja Mesir terakhir yaitu Qalawun As-Salihi yang dikenal dengan Raja Al-Mansur pada tahun 678 H. Disebutkan dalam kitab Tahqiq An-Nushrah Bitalkhis Ma’alim Dar Al-Hijrah’, 'Ini adalah urusan pemerintah, tidak ada kaitannya dengan dalil.' 2. Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya “Ada orang yang berhujjah berargumen bahwa adanya bangunan kubah hijau di atas kuburan yang mulia di Masjid Nabawi menunjukkan dibolehkannya membangun kubah di atas kuburan-kuburan lain seperti orang-orang shaleh dan lainnya. Apakah hujjah ini dibenarkan atau bagaimana cara menyangkalnya?. Mereka menjawab “Hujjah argumen orang yang membolehkan membangun kubah di atas kuburan orang saleh yang telah wafat, dengan adanya kubah di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tidaklah benar. Karena tindakan mereka yang membangun kubah di atas kuburannya sallallahu’alaihi wa sallam merupakan perbuatan haram dan pelakunya berdosa, karena menyalahi riwayat dari Abi Al-Hayyaj Al-Asadi yang berkata, 'Ali bin Abi Tholib radhiallahu anhu berkata kepadaku ”Mari aku utus engkau sebagaimana Rasulullah sallallahu alahi wa sallam mengutusku; Janganlah engkau membiarkan patung kecuali engkau hilangkan, dan jangan biarkan kuburan tinggi kecuali engkau ratakan." Dari Jabir radhiallahu anhu, dia berkata نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيهِ ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيهِ رواهما مسلم "Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melarang kuburan ditembok, diduduki dan dibangun di atasnya." HR. Muslim Maka tidak sah seseorang berhujjah dengan prilaku sebagian orang yang diharamkan dengan melakukan prilaku yang sama yang diharamkan juga. Karena tidak dibolehkan menyalahi sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dengan bersandar perkataan atau perbuatan seorang pun. Karena beliau sallallahu’alaihi wasallam sebagai penyampai dari Allah Subhanahu wata’ala yang wajib ditaati dan tidak boleh menyalahi perintahnya. Berdasarkan firman Allah Azza wa jalla وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا سورة الحشر 7 “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” QS. Al-Hasyr 7 Dan ayat-ayat lain yang memerintahkan taat kepada Allah dan kepada RasulNya. Di samping itu, karena membangun kuburan dan menjadikan kubah di atasnya merupakan salah satu sarana kesyirikan terhadap penghuninya, maka pintu ke arah sana harus ditutup sebagai antisipasi mencegah perbuatan syirik.’ Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abdullah Qa’ud Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/83-84 3. Para ulama’ Al-Lajnah ad-Daimah mengomentari juga ”Berdirinya kubah di atas kuburan Nabi sallallahu’alahi wasallam bukan sebagai hujjah bagi yang mecari dalil untuk itu dalam membangun kubah di atas kuburan para wali dan orang-orang shaleh. Karena adanya kubah di atas kuburannya, bukan atas wasiat dari beliau sallallahu’alaihi wa sallam, juga bukan prilaku para shahabat radhiallahu’anhum, bukan juga para tabiin, juga bukan perbuatan seorang pun dari para imam yang mendapatkan petunjuk di abad-abad permulaan yang disaksikan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik. Sssungguhnya hal itu merupakan prilaku ahli bid’ah. Telah menjadi ketetapan Nabi sallallahu’alahi wa sallam dalam sabdanya “Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama kami yang tidak ada ajarannya maka ia tertolak.” Begitu pula telah ada ketetapan dari Ali radhiallahu anhu bahwa beliau berkata kepada Abu Al-hayyaj ”Mari aku utus engkau sebagaimana Rasulullah sallallahu’alahi wa sallam mengutusku; Janganlah engkau membiarkan patung kecuali engkau hilangkan, dan jangan ada kuburan tinggi kecuali engkau telah ratakan.” HR. Muslim Tidak ada ketetapan dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam membangun kubah di atas kuburannya, juga tidak ada ketetapan dari para imam yang terbaik. Justeru ketetapan yang ada adalah membatalkan akan hal itu. maka selayaknya seorang muslim tidak tergantung dengan apa yang dibuat-buat oleh ahli bid’ah dengan membangun kubah di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam.” Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abdullah Gudayyan, Syekh Abdullah Qa’ud. Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/264, 265 4. Syekh Syamsuddin Al-Afghany rahimahullah berkata ”Al-Allamah Al-Khojnadi 1379 H berkata dalam menjelaskan sejarah pembangunan kubah hijau yang dibangun di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, 'Setelah diteliti, dia adalah bid’ah yang dilakukan melalui tangan-tangan sebagian penguasa yang tidak paham dan keliru yang jelas-jelas menyalahi hadits shahih muhkam yang jelas mengandung hukum dan jelas. Karena ketidak tahuan tentang sunnah serta sikap berlebih-lebihan dan mengikuti orang Kristen yang sesat dan bingung. Ketahuilah, bahwa hingga tahun 678 H, kubah di atas kamar nabi yang di dalamnya ada kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah ada. Akan tetapi, hal tersebut baru dibangun oleh Raja Ad-Zahir Al-Mansur Qalawun As-Sholihi pada tahun itu 678 H. Maka dibangunlah kubah itu. Saya katakan ”Sesungguhnya dia melakukan hal itu karena melihat di Mesir dan Syam hiasan pada gereja orang Kristen. Maka dia menirunya karena tidak tahu terhadap perintah Nabi sallallahu’alahi wa sallam dan sunnah-sunnahnya. Sebagaimana Al-Walid menirunya dalam menghias masjid. Maka berhati-hatilah. Wafa AL-Wafa. Tidak diragukan lagi bahwa prilaku Qalawun ini –dengan tegas menyalahi hadits shahih dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Akan tetapi kebodohan adalah bencana yang besar. Dan berlebih-lebihan dalam mencintai dan mengagumkan adalah bencana yang mengerikan. Meniru orang-orang asing non Islam adalah penyakit yang memusnahkan. Maka kami berlindung kepada Allah dari kebodohan, berlebih-lebihan dan dari meniru orang-orang asing.” Juhud Ulama’ Al-Hanafiyah Fi Ibtol Aqoidil AL-Quburiyyah, 3/1660-1662 Ketiga Sebab Tidak Dihancurkannya. Para ulama menerangkan hukum agama terkait membangun kubah. Pengaruh dari perbuatan bid’ah ini sangat jelas bagi para pelaku bid’ah, mereka menjadi sangat tergantung dengan bangunan tersebut, baik bentuk maupun warnanya. Pujian dan penghormatan mereka telah banyak melahirkan nazam syair maupun natsar prosa. Untuk mengatasi hal ini yang ada tingal realisasi dari pemerintah, dan ini bukan pekerjaan para ulama. Boleh jadi, penghalang bangunan tersebut tidak dihancurkan adalah agar tidak terjadi fitnah, dan khawatir terjadi kekacauan di kalangan awam karena ketidaktahuan mereka. Yang sangat memprihatinkan adalah bahwa kalangan awam di tengah masyarakat dapat sampai pada tindakan pengagungan terhadap kubah tersebut tak lain karena ajaran dan arahan para ulama sesat dan para pemimpin bid’ah. Mereka inilah yang membuat kekacauan terhadap dua negeri yang suci Mekkah dan Madinah serta terhadap aqidah dan manhajnya. Karena telah banyak sekali prilaku yang sesuai dengan agama di kami yang menyalahi bid’ah mereka. Yang jelas, hukum agama telah tampak dengan jelas. Tidak dihancurkannya kubah tersebut bukan berarti dibolehkan membangunnya, baik di situ maupun di kuburan manapun. Syekh Shaleh Al-Ushaimi hafizahullah berkata “Sesungguhnya berdirinya kubah tersebut selama delapan abad, bukan berarti dia dibolehkan. Juga bukan berarti jika didiamkan bermakna setuju atau dalil membolehkan. Seharusnya penguasa umat Islam menghilangkannya, dan mengembalikan kondisinya seperti waktu kenabian, yaitu dengan menghilangkan kubah, hiasan dan dekorasi dalam masjid. Terutama pada Masjid Nabawi, jika hal itu tidak berdampak fitnah yang lebih besar. Akan tetapi, jika berdampak fitnah lebih besar, maka penguasa harus berhati-hati disertai keinginan kuat untuk menghancurkannya jika memungkinkan. Bida Al-Qubur, Anwa’uha Wa ahkamuha, Wallahu’alam .
Tipe 1. Adalah nisan dengan tipe kurung kurawal, bahan yang digunakan dalam pembuatan nisan ini adalah kapur, di Samudera Pasai hanya terdapat 3 pasang nisan ini. Hal-hal yang dilarang di makam menurut Islam: 1. Membangun kubah dan masjid Diantara hal-hal yang termasuk dalam meninggikan kuburan yang dilarang oleh hadist, bahkan lebih berat
Bangunan adalah struktur yang sengaja dibuat oleh manusia, bangunan biasanya terdiri dari 2 bagian penting yaitu dinding dan atap berikut bagian pondasi. Namun pernahkah Anda bertanya apa hukum membangun bangunan diatas kuburan? Boleh atau tidak. Nah pada segmen kali ini kita akan membahas tema ini. Bangunan biasanya disebut dengan nama rumah atau gedung, yaitu segala sarana, prasarana dan setiap infrastruktur dari kebudayaan manusia sebagai bentuk fisik dari kebudayaan manusia yang berusaha mereka bangun. Dari segi lain, bangunan memiliki banyak ukuran, bentuk, fungsi dan mengalami berbagai macam penyesuaian sepanjang sejarah yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti jenis bahan bangunan, kondisi cuaca, kondisi tanah, harga serta faktor estetikanya dan jasa kontraktor jogja siap menerima konsultasi berkaitan dengan itu. Bangunan memiliki banyak kegunaan bagi kehidupan manusia, terlebih sebagai tempat untuk berlindung, bernaung untuk mencari keamanan dari kondisi luar rumah, misalnya cuaca, hewan atau bahkan manusia. Karena itu rasa aman dan nyaman dikaitkan dengan rumah. Kuburan, sumber Karena berkaitan dengan peradaban manusia, bangunan menjadi bagian yang sengat vital dalam kehidupan ini. Untuk itu memahami hakikat bangunan baik dari segi fisik maupun pemanfaatannya menjadi penting bagi umat manusia. Terkhusus lagi buat kaum muslimin yang setiap aktifitas hariannya selalu terikat dengan halal dan haram. Islam memandang segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, baik manusia maupun kehidupan masing-masing memiliki karakteristik tersendiri. Khusus untuk manusia, Allah bebankan beban hukum kepadanya berupa perintah dan larangan. Perintah dan larangan ini menjadi indikasi seberapa taqwa seorang hamba kepada Allah sang pencipta dengan melihat seberapa tunduk dan taatnya manusia padanya. Membangun rumah diatas kuburan juga tidak lepas dari cakupan halal-haram. Untuk itu mengetahui hukum syara’ terkait dengan semua aktifitas yang dilakukan adalah sebuah kewajiban yang tak bisa dihindarkan. Sebab sebuah kaidah syara’ mengatakan ” Hukum asal perbuatan manusia itu terikat dengan hukum syariah”. Baik di Indonesia maupun di wilayah lain, banyak dijumpai pekuburan yang di atasnya dipenuhi dengan bangunan atau keramik. Nah, sebelum terlanjur Anda membangun sesuatu, ada baiknya mengetahui hukum syariat mengenai hal ini. Membangun bangunan diatas kuburan, sumber Dari Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith Al-Alawi Al-Husaini dalam tanya sebuah forum tanya jawab mengatakan, ” melekatkan atau menyemen kuburan makruh hukumnya menurut pendapat mayoritas ulama” Imam Abu Hanifah mengatakan, ” melekatkan atau menyemen kuburan itu tudak dimakruhkan dan dalam agama tidak dijumpai dalil keharamannya. Adapun hadis tentang larangan melepa, mendirikan bangunan dan duduk diatas kuburan menurut ittifaq ulama tidak menunjukan keharaman tapi hanya bersifat karahah. Lantas, apakah kegiatan menyemen kuburan atau membangun bangunan di atasnya yang dilakukan di berbagai negara hanya untuk mainan? Kegiatan membangun sesuatu diatas kuburan bukanlah semata untuk mainan dan hiasan, tapi dilakukan untuk tujuan yang baik dan maslahat. Membangun sesuatu diatas kuburan dengan bentuk tertentu dalam budaya tertentu menjadi sebuah penanda bahwa area itu adalah kuburan, sehingga dapat dihidupkan melalui ziarah dan terpelihara dari penghinaan. Mencegah orang-orang menggalinya kembali sebelum jasad hancur. Sebab menggali makam sebelum jasadnya hancur haram hukumnya. Kemudian, dengan itu juga dapatk mengumpulkan sanak kerabat disekitarnya, sebagaimana yang telah disunnahkan dalam hadits Nabi. إنه صلى الله عليه و سلم وضع على قبر عثمان بن مظعون صخرة وقال أعلم على قبر أخى لأذفن إليه من مات من أقاربي “Sesungguhnya Nabi SAW meletakkan batu besar di atas kuburan Utsman bin Mazh’un dan bersabda “Saya memberi tanda di atas kuburan saudara saya, supaya saya dapat mengubur kerabat-kerabat saya yang meninggal dunia.” HR Abu Dawud dan al-Baihaqi Adapun mendirikan bangunan selain sebagai penanda kuburan, maka hukumnya ditafsihil. Jika kuburan itu tanah milik pribadi atau milik orang lain dengan seatas izinnya, maka hukumnya makruh dan tidak haram. Baik bangunan tersebut berupa cungkup atau lainnya. Jika kuburan itu berbentuk tanah waqaf yang difungsikan untuk kuburan orang umum, maka hukum dari mendirikan bangunan diatas kuburan adalah haram. Ilustrasi tanah waqaf, sumber Sebab keharamannya adalah untuk menghindari kesulitan penguburan dan meminimalisir terjadinya penyempitan. Sebagian ulama ada yang mengecualikan kuburan orang-orang saleh dan imam-imam kaum muslinmin, jika demikian maka boleh mendirikan bangunan diatas kuburan mereka, sekalipun berada diatas tanah umum. Sementara Buya Yahya Zainul Ma’arif Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah Al-Bahjah di dalam satu kesempatan berpendapat bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan terjadi khilaf besar. Adapun jika mendirikan bangunan persis di atas kuburan itu dibolehkan atau haram. Ada juga sebagian ulama yang berpendapat jika kuburan diberikan tembok itu diharamkan. Namun, ulama aswaja mengatakan yang diharamkan membuat bangunan di atas kuburan yaitu yang haram untuk diinjak, selain itu dibolehkan. Pada poin pentingnya adalah bahasan mengenai hukum membangun bangunan diatas kuburan itu menjadi khilaf para ulama. Paling tidak ini masuk pada bab kemakruhan. Di dalam riwayatnya memang dilarang untuk menyemen apabila di tanah waqaf. Maksudnya tidak perlu disemen sedemikian rupa sehingga tampak kemegahannya, yang wajar saja. Kemudian beliau berwasiat ” Makanya saya berwasiat, semoga panjang umur, jika saya nanti wafat cukup dibuatkan Nisan dua saja. Itu sebagai tanda bahwa ini loh saya sudah wafat”. Alhamdulillah, dari beberapa uraian di atas dapat kita tarik benang merahnya setidaknya ada 2 pendapat. Pertama humum membangun bangunan diatas kuburan itu makruh dan yang kedua hukumnya adalah haram. Wallahu wa Rasulu A’lam. Untuk menambah wawasan keislaman Anda, kam rekomendasikan untuk juga membaca hukum mengirimkan Al-quran melalui ekspedisi atau membaca tulisan berjudul hukum menjualbelikan bayi ini. Semoga bermanfaat.
Hukummembangun diatas kuburan terlarang sebagaimana dalam sebuah hadits dari sahabat Jabir bin Abdillah: mendirikan bangunan diatas kuburan demikian juga mendudukinya adalah DILARANG. Larangan pada hadits diatas bermakna haram bukan makruh hal ini karena sebuah larangan pada asalnya menunjukan makna haram kecuali ada data dari al-qur'an
Setiap disebutkan kata kuburan, umumnya yang terlintas dalam benak pikiran adalah rasa takut, khawatir, dan cemas. Perasaan inilah yang oleh sebagian kalangan ingin ditepis dan dihilangkan dengan cara membuat kuburan tampak terlihat ramah dengan dibangun dikijing dan diperindah agar orang yang melewati kuburan menjadi lebih tenang dan tidak takut. Bahkan ada juga yang mengecat kuburan dengan beraneka warna, hingga kuburan yang awalnya menyeramkan, justru dipandang sebagai objek seni yang indah. Lantas bagaimana syariat menyikapi realitas tersebut? Rasulullah pernah bersabda dalam salah satu haditsnya مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ “Tidak aku lihat pemandangan, kecuali kuburanlah yang paling menakutkan” HR. Ahmad. Berdasarkan hadits tersebut, kuburan sejatinya memang dicirikan sebagai tempat yang menyeramkan. Hal ini tak lain ditujukan agar orang yang melihat dan menziarahi kuburan dapat mengambil iktibar dari keadaan orang yang telah meninggal, sehingga ia semakin bertambah ketakwaannya dan semakin mempersiapkan bekal dalam menghadapi kematian. Tidak heran jika Rasulullah melarang membangun kuburan dan memperindahnya dengan diplester. Dalam hadits dijelaskan ﻧﻬﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺠﺼﺺ اﻟﻘﺒﺮ، ﻭﺃﻥ ﻳﻘﻌﺪ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﺃﻥ ﻳﺒﻨﻰ ﻋﻠﻴﻪ» “Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang untuk memplester kuburan, duduk di atasnya dan membangun kuburan” HR Muslim. Larangan dalam membangun kuburan jawa mengijing ini oleh para ulama diarahkan pada hukum makruh ketika tidak ada hajat dan jenazah dikuburkan di tanah milik pribadi. Berbeda halnya jika mayit dikuburkan di pemakaman umum, maka hukum membangun kuburan adalah haram dan wajib untuk membongkar bangunan tersebut, sebab akan berdampak pada memonopoli tanah yang sebenarnya digunakan secara umum. Dalam kitab Fath al-Mu’in dijelaskan وكره بناء له أي للقبر أو عليه لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل. ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل البلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه. “Makruh membangun kuburan, sebab adanya larangan syara’. Kemakruhan ini ketika tanpa adanya hajat, seperti khawatir dibongkar, dirusak hewan atau diterjang banjir. Hukum makruh membangun kuburan ini ketika mayit di kubur di tanah miliknya sendiri, jika membangun kuburan dengan tanpa adanya hajat atau memberi kubah pada kuburan ini di pemakaman umum, yakni tempat yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk mengubur jenazah, baik diketahui asalnya dan keumumannya atau tidak, atau di kuburkan di tanah wakaf, maka membangun kuburan tersebut hukumnya haram dan wajib dibongkar, sebab kuburan tersebut akan menetap selamanya meski setelah hancurnya mayit, dan akan menyebabkan mempersempit umat muslim tanpa adanya tujuan” Syekh Zainuddin al-Maliabar, Fath al-Mu’in, hal. 219. Di samping itu, kemakruhan membangun kuburan di tanah pribadi ini hanya berlaku ketika tujuan dari membangun bukan untuk menghias tazyin atau mempermegah kuburan. Misal karena bertujuan menandai kuburan satu dengan yang lainnya, atau tidak bertujuan apa-apa, hanya sebatas ingin membangun saja. Jika tujuan dari membangun adalah menghias dan memegahkan kuburan, maka hukum membangun ini meningkat menjadi haram. Seperti yang disampaikan dalam kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah يكره أن يبنى على القبر بيت أو قبة أو مدرسة أو مسجد أو حيطان - إذا لم يقصد بها الزينة والتفاخر وإلا كان ذلك حراما “Makruh membangun pada kuburan sebuah ruang, kubah, sekolah, masjid, atau tembok, ketika tidak bertujuan untuk menghias dan memegahkan, jika karena tujuan tersebut, maka membangun pada makam dihukumi haram” Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, hal. 536. Perincian hukum membangun pada kuburan di atas, dikecualikan ketika mayit adalah orang yang shaleh, ulama atau dikenal sebagai wali kekasih Allah, maka boleh makam tersebut diabadikan dengan dibangun agar orang-orang dapat berziarah dan bertabarruk pada makam tersebut. Meskipun makam orang soleh ini berada di pemakaman umum. Dalam Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin ﻗﺒﻮﺭ اﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻨﺎﺅﻫﺎ ﻭﻟﻮ ﺑﻘبﺔ ﻹﺣﻴﺎء اﻟﺰﻳﺎﺭﺓ ﻭاﻟﺘﺒﺮﻙ. ﻗﺎﻝ اﻟﺤﻠﺒﻲ ﻭﻟﻮ ﻓﻲ ﻣﺴﺒﻠﺔ، ﻭﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ “Makam para ulama boleh dibangun meskipun dengan kubah, untuk menghidupkan ziarah dan mencari berkah. Al-Halabi berkata Meskipun di lahan umum”, dan ia memfatwakan hal itu Syekh Abu Bakr Muhammad Syatha, Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin, juz 2, hal. 137. Alasan di balik pelarangan membangun kuburan ini adalah karena dalam membangun kuburan terdapat unsur menghias kuburan atau mempermewah kuburan. Selain itu, menurut Imam al-Qulyubi, membangun kuburan merupakan bentuk menghambur-hamburkan harta tanpa adanya tujuan yang dibenarkan oleh Syara’, seperti disampaikan dalam kitab Hasyiyah Umairah ﻗﺎﻝ اﻷﺋﻤﺔ ﻭﺣﻜﻤﺔ اﻟﻨﻬﻲ اﻟﺘﺰﻳﻴﻦ ﺃﻗﻮﻝ ﻭﺇﺿﺎﻋﺔ اﻟﻤﺎﻝ ﻟﻐﻴﺮ ﻏﺮﺽ ﺷﺮﻋﻲ “Para ulama berkata, Hikmah alasan larangan membangun kuburan adalah menghias.’ Saya Umairah katakana, Juga karena menghamburkan harta tanpa tujuan yang dibenarkan syari’at’,” Ahmad al-Barlasi al-Umairah, Hasyiyah Umairah, juz 1, hal. 441. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membangun kuburan mengijing hukum asalnya adalah makruh ketika dibangun di tanah pribadi, selama tidak bertujuan untuk menghias dan memegahkan kuburan. Sedangkan jika kuburan berada di tanah milik umum, maka hukum membangunnya adalah haram dan wajib untuk dibongkar. Perincian hukum ini, dikecualikan ketika makam tersebut adalah makam ulama atau orang yang saleh, maka boleh dan tidak makruh membangun makam tersebut agar dapat diziarahi oleh khalayak umum. Setelah mengetahui perincian hukum tersebut, alangkah baiknya tatkala kita melihat salah satu makam keluarga kita yang berada di pemakaman umum bukan tanah pribadi dan masih saja di bangun dikijing, agar secara sukarela membongkarnya demi kemaslahatan bersama. Sebab pemakaman umum berlaku untuk masyarakat secara umum, bukan monopoli perseorangan, apalagi sampai mengurangi kapasitas pemakaman masyarakat setempat karena banyaknya kuburan yang dibangun. Namun dalam penerapan hal demikian pada kuburan orang lain yang bukan keluarga kita, alangkah baiknya jika hukum demikian disampaikan secara santun dan bijaksana, sebab hal ini merupakan persoalan yang sensitif. Apabila dirasa ketika hukum demikian disampaikan kepada orang lain dan diyakini menyebabkan perpecahan dan kemudaratan yang lebih besar daripada maslahat yang ada, maka lebih baik tidak disampaikan, dengan tetap berusaha mengupayakan cara yang lebih baik. Wallahu a’lam. Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
10Disebutkan dalam kitab Fath Al-Majid (hlm. 243), Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab sampai berkata, "Syirik dan penyembahan pada kubur terjadi karena sebab Rafidhah (kaum Syiah). Merekalah yang pertama kali membangun masjid di atas kubur." 11.Menjadikan kubur sebagai masjid terdapat dua kerusakan di dalamnya, yaitu: (a) kerusakan
Membangun masjid di atas kuburan merupakan persoalan yang perlu mendapatkan perhatian serius oleh setiap Muslim. Masalah ini perlu dikaji berdasarkan keterangan para Ahli Ilmu. Tujuannya agar setiap Muslim terhindar dari terjerumus dalam suatu perbuatan yang dibenci oleh syariat Islam. Sementara, karena ketidak tahuannya, seseorang merasa perbuatan itu lumrah saja dilakukan. Untuk itulah tulisan ini dihadirkan untuk menerangkan persoalan membangun masjid di atas kuburan berdasarkan penjelasan para ahli ilmu. Daftar IsiPengertian Menjadikan Kuburan Sebagai MasjidHukum Membangun Masjid di atas Kuburan1. Pendapat pertama2. Pendapat keduaLandasan Hukum Masing-Masing PendapatA. Mereka yang mengikuti pendapat pertama beralasan dengan dalil-dalil yang di antaranya adalahB. Untuk mereka yang berpegang kepada pendapat kedua, Syaikh Jamil bin Habib Al Luwaihiq tidak menemukan dalil selain yang telah disebutkan. Dimungkinkan mereka membawa apa-apa yang telah disebutkan kepada hukum yang Rajih Tentang Hukum Membangun Masjid di Atas KuburanBagaimana dengan Kuburan Nabi di Masjid Nabawi?Jawaban Tentang Kuburan Nabi di Masjid Nabawi Sumber Pengertian Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid Yang mungkin dipahami dari maksud menjadikan kuburan sebagai masjid adalah tiga makna berikut ini Shalat di atas kuburan dalam arti sujud di atasnya. Sujud ke arahnya dan menghadap kepadanya dengan shalat dan berdoa. Membangun masjid-masjid di atas kuburan dan bertujuan shalat di dalamnya. Masing-masing dari makna ini merupakan pendapat sekelompok ulama. Dan pada masing-masing makna tersebut terdapat nash-nash yang jelas dari pemimpin para Nabi ﷺ. [1] Para ahli ilmu berbeda pendapat tentang hukum membangun masjid di atas kuburan, sehingga muncul dua pendapat, yaitu 1. Pendapat pertama Bahwa membangun masjid di atas kuburan haram hukumnya. Ini adalah pendapat para pengikut mazhab Hanbali [Lihat lbnu Abdul Barr, Al-Kafi, 1/470; Al-Bahuti, Kasysyaf … 2/141 dan Al-Maqdisi, Asy-Syarh Al-Kabir 1/579] Dan diungkapkan oleh para pengikut mazhab Hanafi [Lihat Al-Fatawa Al-Al Amkiriah yang terhimpun dalam Al Fatawa Al-Hindiah, 1/166] bahwa hukumnya makruh yang konsekuensinya adalah pengharaman. Namun, Syaikh Jamil bin Habib Al Luwaihiq mengatakan,’Konsekuensi makruh di sini adalah harus bersifat pengharaman. Karena pada prinsipnya, makruh itu jika diucapkan oleh para pengikut mazhab Hanafi, yang dimaksud adalah pengharaman. Sebagaimana dengan tegas hal itu ditulis lbnu Abidin dalam hasyiyahnya. Sebagaimana dapat dipahami pula dari jenis dalil-dalil yang muncul berkenaan dengan masalah ini sebagaimana diisyaratkan oleh lbnu Abidin pula.” Lihat lbnu Abidin, ibid., 1/405 2. Pendapat kedua Perbuatan tersebut makruh hukumnya. lni adalah pendapat para pengikut mazhab Syafi’i. [Lihat Asy-Syairazi, Al-Muhadzdzab, dan An-Nawawi, Al-Majmu’ Keduanya dicetak dalam satu jilid, 5/316.] Kebanyakan pemakaian lafazh makruh’ oleh Asy Syaf’i Rahimahullah dan para sahabatnya dimaksudkan adalah makruh yang wajib dijauhi. An-Nawawi rahimahullah sebelum masalah ini ketika memaparkan pembahasan tentang duduk di atas kuburan dan mendiskusikan dengan mereka yang mengharamkannya, berkata ”Namun, ungkapan Asy-Syafi’i dalam kitabnya, Al Umm, dan semua sahabat seiring sejalan, seluruhnya membenci duduk di atas kuburan, dan makruh menurutnya adalah makruh yang wajib ditinggalkan, sebagaimana masyhur pula dalam pemakaian oleh para ahli hadits.” An-Nawawi, 5/312. rahimahullah dalam hal ini berkata, “Semua nash dari Syafi’i dan kawan – kawan selalu sejalan dan semuanya menunjukkan bahwa makruh hukumnya membangun masjid di atas kuburan, baik si mayit adalah orang yang sangat terkenal kebaikannya dan lain-lain karena makna umum hadits itu. [Al-Majmu’ 5/316] Jadi ia telah menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan. [Lihat Fatawa An-Nawawi, hlm. 46.] Sumber Landasan Hukum Masing-Masing Pendapat A. Mereka yang mengikuti pendapat pertama beralasan dengan dalil-dalil yang di antaranya adalah 1. Apa yang datang dari Aisyah dan lbnu Abbas Radhiyallahu anhuma keduanya berkata Ketika ia Ibnu Abbas berkunjung kepada Rasulullah ﷺ, beliau melemparkan baju tebal beliau ke wajah lbnu Abbas. Ketika telah sesak napasnya, beliau membuka wajahnya dan bersabda, Demikian ini pula laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid’.” Dan beliau memperingatkan dengan keras atas apa yang mereka perbuat. [Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Masajid, Bab “Ash-shalat fii Al-Bi’ah”, hadits no. 425, 1/168; dan Shahih Muslim, Kitab Al Masajid wa Mawadhi’u Ash-shalat, Bab “An-Nahyu an Binaai Al-Masajid ala Al-Qubur,” hadits no. 531, 1/315] Aspek yang menjadi objek penunjukan hadits ini adalah bahwa Rasulullah ﷺ melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena perbuatan mereka tersebut sehingga hadits ini menunjukkan keharamannya. Jika perbuatan tersebut mubah hukumnya tentu Nabi ﷺ tidak melaknat para pelakunya. [Lihat Al-Maqdisi, Asy-Syarh At-Kabir… op’cit, 1/579] 2. Apa yang datang dari Aisyah bahwa Ummu salamah menyebutkan di hadapan Rasulullah ﷺ tentang sebuah gereja yang dilihatnya di negeri Habasyah bernama Maria’. la menyebutkan kepada beliau tentang segala yang ia lihat di dalamnya berupa gambar – gambar. Maka Rasulullah ﷺ bersabda “Mereka adalah suatu kaum yang jika ada di kalangan mereka seorang hamba yang shalih atau pria yang shalih meninggal dunia, mereka membangun di atas kuburnya sebuah masjid dan mereka menggambar gambar-gambar itu di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah.” [Shahih Al-Bukhari, Kitab Al – Masajid, Bab Ash-Shalat fii Al-Bi’ah, hadits no. 424, 1/167] Hadits ini jelas menunjukkan larangan atas perbuatan semacam ini. 3. Apa yang telah datang dari Jundub Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Aku mendengar Nabi ﷺ lima malam sebelum beliau wafat bersabda “Sesungguhnya aku berlepas diri dan kembali kepada Allah jika aku memiliki kekasih dari antara kalian. Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai kekasih sebagaimana Allah telah menjadikan lbrahim sebagai kekasih. Jika aku diperbolehkan untuk menentukan kekasih di antara kaumku, tentu kujadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kalian mereka menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih mereka menjadi masjid-masjid. Ketahuilah, janganlah kalian semua menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid. Sesungguhnya aku melarang kalian semua dari perbuatan itu.” [Shahih Muslim, Kitab Al-Masajid wa Mawadhi’i Ash-Shalat, Bab An-Nahyu an Binaai Al-Masajid ala Al-Qubur…”, hadits no. 528, 1/314] Hadits ini adalah salah satu hadits yang paling gamblang menerangkan larangan tentang permasalahan tersebut. Dalam hadits itu Rasulullah ﷺ secara gamblang melarang perbuatan tersebut. Larangan beliau yang demikian itu berkonotasi pengharaman. 4. Apa yang datang dari lbnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ bersabda “Allah melaknat para wania peziarah kubur dan orang-orang yang menjadikan di atas kuburan masjid-masjid dan lanpu-lampu.” [Sunan Abu Dawud, Kitab Al-Janaiz, Bab “Fii Ziyarati An-Nisa Al-Qubur, hadits no. 3236, 3/ 218; Sunan At-Tirmidzi, Kitab Ash-Shalat, Bab “Ma Ja’a fii Karahiyati an Yattakhidza ala Al-Qabri Masjidan’, hadits no. 320, 2/136; Sunan An-Nasa’i, Kitab Al Janaiz, Bab “At-Taghlizh fii Ittikhadzi As-Sarji ala Al-Qubur,’ hadits no. 2042, 4/ 400; Sunan lbnu Majah, Kitab Al-Janaiz, Bab Ma Ja’a fii An-Nahyi an Ziyarati An-Nisa Al-Qubur’, hadits no. 1575, 1/502. Lafazhnya zawwarat para wanita penziarah. At-Tirmidzi berkata, “Hadits lbnu Abbas adalah hadits hasan”. Lihat Sunan At-Tirmidzi 2/137.] B. Untuk mereka yang berpegang kepada pendapat kedua, Syaikh Jamil bin Habib Al Luwaihiq tidak menemukan dalil selain yang telah disebutkan. Dimungkinkan mereka membawa apa-apa yang telah disebutkan kepada hukum makruh. Sumber Pendapat yang Rajih Tentang Hukum Membangun Masjid di Atas Kuburan Pendapat yang paling kuat -Wallahu Ta’ala A’lam- adalah pendapat pertama, bahkan pendapat itulah yang akan segera muncul di benak orang yang mempelajari dalil-dalil yang berkenaan dengan permasalahan ini. Demikian pula orang yang memiliki kelebihan kemampuan untuk memahami hikmah syariat yang menetapkan penutupan celah-celah kesyirikan dan kesesatan. Tidak diragukan lagi bahwa pembangunan masjid-masjid di atas kuburan merupakan sarana terbesar yang mengantarkan kepada tindakan mengkultuskan orang-orang yang telah meninggal, mengagungkannya dan pada gilirannya menimbulkan fitnah karenanya. Pemahaman ini diperkuat oleh akal sehat dan kenyataan sejarah di tengah-tengah umat-umat terdahulu sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Nabi ﷺ. Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata, Aku sangat membenci pengagungan makhluk hingga menjadikan kuburnya sebagai masjid karena khawatir fitnah atas dirinya dan orang-orang setelahnya.” [Al-Majmu'5/314 dengan makna yang sama dalam kitab Al-Umm, 1/317][ii] Demikian ringkasan dari keterangan Syaikh Jamil bin Habib Al Luwaihiq dalam buku Tasyabuh yang Dilarang dalam Fikih Islam edisi terjemah mengenai hukum membangun masjid di atas kuburan. Hal ini juga berlaku untuk musholla. Karena tidak ada perbedaan antara masjid dan mushola. Bagaimana dengan Kuburan Nabi di Masjid Nabawi? Bagaimana Memberikan Jawaban kepada Para Penyembah Kuburan Seputar Klaim Dikuburkannya Nabi ﷺ di dalam Masjid Nabawi? Apakah ini bagian dari keutamaan Masjid Nabawi? Kuburan Nabi di dalam Masjid Nabawi. Sumber Jawaban Tentang Kuburan Nabi di Masjid Nabawi Jawabannya dari beberapa aspek Bahwa masjid tersebut tidak dibangun di atas kuburan akan tetapi ia sudah dibangun semasa Nabi ﷺ masih hidup. Bahwa Nabi ﷺ tidak dikuburkan di dalam Masjid sehingga bisa dikatakan bahwa ini adalah sarna artinya dengan penguburan orang-orang shalih di dalam masjid’, akan tetapi beliau ﷺ dikuburkan di rumahnya. rumahnya berdampingan dengan masjid sebab sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang shahih bahwa para Nabi dikuburkan di tempat di mana mereka wafat-penj.. Bahwa melokalisir rumah Rasulullah ﷺ juga rumah Aisyah sehingga menyatu dengan masjid bukanlah berdasarkan kesepakatan para sahabat akan tetapi hal itu terjadi setelah mayoritas mereka sudah wafat, yaitu sekitar tahun 94 H. Jadi, ia bukanlah atas dasar pembolehan dari para sahabat semuanya, akan tetapi sebagian mereka ada yang menentang hal itu, di antara mereka yang menentang tersebut terdapat pula Said bin al-Musayyib dari kalangan Tabi’in. Bahwa kuburan Nabi tersebut tidak terletak di dalam masjid bahkan telah dilokalisir, karena ia berada di dalam bilik tersendiri yang terpisah dari masjid. Jadi, masjid tersebut tidaklah dibangun di atasnya. Oleh Karena itu, di tempat ini dibuat penjagaan dan dipagari dengan tiga buah dinding. Dan, dinding ini diletakkan pada sisi yang melenceng dari arah kiblat alias berbentuk segitiga. Sudut ini berada di sisi utara sehingga seseorang yang melakukan shalat tidak dapat menghadap ke arahnya karena ia berada pada posisi melenceng dari arah kiblat. Dengan demikian, gugurlah argumentasi para budak penyembah kuburan tersebut . Kumpulan Fatwa dan Risalah Syaikh lbnu Utsaimin Juz ll, Mengenai Hadits yang disebutkan oleh penerjemah fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah di atas, redaksinya adalah sebagai berikut Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Ketika Rasulullah ﷺ meninggal, para sahabat berselisih dalam hal pemakamannya. Maka Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, Aku telah mendengar dari Rasulullah ﷺ satu hadits yang tidak akan kulupakan. Beliau bersabda ماَ قَبَضَ اللهُ نَبِيًّا إِلاَّ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُدْفَنَ فِيْهِ, فَدَفَنُوْهُ فيِ مَوْضِعِ فِرَاشِهِ. “Tidaklah Allah mewafatkan seorang Nabi kecuali di tempat yang Allah sukai sebagai tempat pemakamannya.” Kemudian para Sahabat memakamkannya di tempat tidurnya.” [Hadits Shahih. Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir 5649; Sunan at-Tirmidzi II/242, no. 1023]. Referensi Penulisan [i] Lihat situs ini di bawah pengawasan umum Syaikh Alawi Abdul Qadir As Saqqaf. [ii] Lihat Tasyabuh yang Dilarang dalam Fikih Islam, karya Syaikh Jamil bin Habib Al Luwaihiq, Penerbit Pustaka Darul Falah, halaman 311-315. Dengan sedikit perubahan pada format penulisan.. [3] Lihat Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq, Jilid 1, halaman 27-28.
UstadzAli Hafid hafizahullah berkata: "Belum pernah ada kubah di atas kamar yang suci (kuburan Nabi). Dahulu di atap masjid yang sejajar dengan kamar ada kayu memanjang setengah ukuran orang untuk membedakan antara kamar dengan sisa atap masjid lainnya. Sulton Qalawun As-Shalihi yang pertama kali membuat kubah di atas kuburan tersebut.
Seseorangbertanya: Di kalangan kami ada di antara pemuka - pemuka sufi yang kerjanya membuat kubah dan bangunan diatas kuburan. Orang - orang meyakini keshalihan dan keberkahan pada mereka. Kalau hal ini tidak disyaria'atkan maka tolong mereka dinasehati karena mereka adalah panutan di tangah - tengah masyarakat.
Nashsha'alaihi as-syafi'i wa al-ashab (para sahabat kami -ulama syafi'iyyah, berpendapat bahwa makruh hukumnya menembok kuburan. Duduk di atasnya adalah haram. Demikian pula bersandar pada makam. Sedangkan membangun bangunan di atas kuburan, jika kuburan itu berada di tempat milik si pembangun makam, maka makruh.
202views, 1 likes, 0 loves, 0 comments, 2 shares, Facebook Watch Videos from Wasallallahu'ala saidina Muhammad wa ala ali saidina Muhammad: #PENGKULTUSAN_KUBUR_DI_KALANGAN_KAUM_SYI4H_DAN_KAUM_SUFI
. 9fico77c2f.pages.dev/2429fico77c2f.pages.dev/5319fico77c2f.pages.dev/1809fico77c2f.pages.dev/9619fico77c2f.pages.dev/5809fico77c2f.pages.dev/8889fico77c2f.pages.dev/3859fico77c2f.pages.dev/9319fico77c2f.pages.dev/6749fico77c2f.pages.dev/6359fico77c2f.pages.dev/459fico77c2f.pages.dev/7199fico77c2f.pages.dev/6459fico77c2f.pages.dev/6959fico77c2f.pages.dev/502
membangun kubah diatas kuburan adalah haram ini keyakinan kaum